HEADLINE
Mode Gelap
Artikel teks besar

Rochman : Masa Depan Profesi Konstruksi Perlu Kepastian Regulasi Nasional

Foto : Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Provinsi Bengkulu, Dr. Ir. M. Rochman. ST. SH. MH. IPM. ACPE. ASEAN Eng.


ReportTimeNews, Bengkulu - Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Provinsi Bengkulu, Dr. Ir. M. Rochman.ST.SH.MH.IPM.ACPE.ASEAN Eng..menyoroti pentingnya penataan ulang regulasi terkait profesi ahli konstruksi di Indonesia.

Ia menegaskan bahwa kejelasan hukum dan standarisasi nasional sangat diperlukan agar profesi konstruksi dapat berjalan secara profesional, akuntabel, dan tidak rentan terhadap kriminalisasi, terutama dalam proses hukum pidana.

Menurut Rochman, untuk diakui sebagai ahli konstruksi yang sah, seseorang tidak cukup hanya bermodal ijazah akademik. Ada empat syarat utama yang harus dipenuhi, yakni: pertama, memiliki pendidikan formal di bidang jasa konstruksi; kedua, memiliki Sertifikat Keahlian (SKA); ketiga, STRI /Sertifikat Kompetensi Insinyur (SKI); dan keempat, pengalaman teknis dalam perencanaan, pengawasan, atau pelaksanaan proyek konstruksi.

"Tanpa memenuhi keempat aspek ini, keterangan seorang ahli tidak bisa dijadikan alat bukti yang kuat di persidangan," jelas Rochman pada Senin, (19/5/2025).

Ia merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku, terutama dalam Pasal 183 KUHAP, yang menyatakan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana jika ada minimal dua alat bukti sah, dan salah satunya bisa berupa keterangan ahli sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 184 KUHAP.

Lebih lanjut, Rochman menyampaikan bahwa pengakuan terhadap status ahli konstruksi juga diperkuat dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Baru (RUU KUHAP), tepatnya pada Pasal 42 dan 43, yang menyebutkan bahwa seorang ahli harus memiliki keahlian yang dibuktikan dengan ijazah, sertifikat, dan pengalaman, serta diakui secara hukum sebagai praktisi. Dalam hal ini, menurutnya, posisi dosen teknik juga seharusnya diperjelas secara eksplisit sebagai bagian dari praktisi profesional, bukan hanya akademisi.

"Selama ini, peran dosen belum diatur secara tegas sebagai praktisi, padahal mereka memegang peran penting dalam pengembangan keilmuan dan keahlian teknis. Ini yang perlu diselaraskan dengan pendekatan hukum yang lebih modern," ungkapnya.

Rochman juga menjelaskan bahwa RUU KUHAP masih dalam proses pembahasan, dan jika disahkan, undang-undang tersebut baru akan berlaku dua tahun kemudian.

"Masa dua tahun ini diperlukan untuk sosialisasi agar implementasinya tidak terganggu judicial review akibat ketidaksiapan pemangku kepentingan," jelasnya.

Selain itu, ia mendorong pembaruan regulasi dilakukan dengan pendekatan keadilan yang lebih humanis, seperti restorative justice, yang saat ini mulai diperkenalkan dalam sistem hukum nasional.

Dalam konteks profesi konstruksi, UU Jasa Konstruksi No. 2 Tahun 2017 dan PP No. 14 Tahun 2021 sudah mengatur bahwa seorang Penilai Ahli dalam kasus kegagalan bangunan harus memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) serta pengalaman teknis yang relevan.

Demikian pula dalam UU Keinsinyuran No. 11 Tahun 2014, yang mewajibkan setiap insinyur memiliki Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) dan SKI. Bila tidak, yang bersangkutan bisa dikenakan sanksi pidana hingga dua tahun penjara dan denda maksimal Rp200 juta.

Tak hanya pelaku lapangan, pihak akademik juga wajib memenuhi regulasi ini. Melalui Surat Edaran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2022, ditegaskan bahwa dosen teknik harus memiliki STRI untuk mendukung legalitas praktik keinsinyuran mereka.

"Diharapkan ke depan, regulasi di sektor jasa konstruksi bisa lebih tegas, profesional, dan menjamin kualitas serta akuntabilitas semua pihak. Aparat hukum dan pengadilan juga harus selektif dalam menerima keterangan ahli. Kita butuh ahli yang tidak hanya menguasai teknis, tetapi juga sah secara hukum. Ini penting untuk menegakkan keadilan dan kepastian hukum," tutup Rochman.